Bukan Sembarang Air di Dalam
Sumur
(Kajian
Etno-Ekologi Mengenai Sumber Air bagi Masyarakat Desa Honggosoco, Jekulo, Kudus)
Siti Islamiyah
Pend. Sosiologi
dan Antropologi, FIS, UNNES
Masyarakat mengartikan dirinya bagian dari lingkungan
alam. Manusia akan selalu bergantung pada alam dalam pemenuhan kebutuhan dan
akan mempengaruhi perilakunya sehari-hari. Dari lingkungan tersebut, masyarakat
akan memberikan bentuk perilaku-perilaku tertentu terhadap lingkungannya yang
menjadikannya khas. Masyarakat akan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda
terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat, akan berbeda dengan masyarakat lainnya.
Dalam pembahasa ini, akan coba mengulas bagaimana
masyarakat honggosoco memberikan pemaknaan tersendiri terhadap sumber air dari
sumur. Sumur ini dikenal oleh masyarakat sebagai sumur bandung. Tidak jauh
berbeda dengan sumur pada umumnya, sumur bandung ini juga memiliki bentuk yang
sama dengan sumur lainnya. Rasa, bentuk, warna dan aroma dari air di sumur
bandung ini juga tidak memiliki perbedaan dengan air sumur pada umumnya. Hanya
saja sumur bandung ini tidak pernah surut dan dimaknai berlakukan berbeda
dengan sumur lainnya, dimana air dalam sumur ini tidak pernah diambil untuk di
konsumsi sehari-hari. Air dalam sumur bandung ini dijadikan obat bagi
masayarakat setempat untuk menyembuhkan sebuah penyakit. Masyarakat percaya,
barang siapa yang memiliki penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka akan
sembuh dengan meminum atau menggunakan sumber air tersebut, meskipun terkadang
tidak memberikan bukti nyata bagi masyarakat.
Untuk mendapatkan air sumur ini sangatlah mudah.
Dikarenakan air didalam sumur ini tidak pernah surut dan ketinggian airnya
mencapai permukaan sumur, maka masyarakt hanya perlu mengambilnya dengan gayung
atau benda lainnya. Setelah mendapatkan air tersebut, mereka bisa langsung
meminumnya atau mengusapkannya pada anggota badannya. Cara pengobatan dengan
menggunakan air ini tergantung pada si penderita, apakah ingin meminumnya atau
mengoleskannya pada tubuh.
Melihat fenomena diatas, dapat dikaji menggunakan
pendekatan etno-ekologi. Etno-ekologi memberikan gambaran bahwa adanya
pemaknaan tertentu dari suatu masyarakat terhadap lingkungan berdasarkan
linguistik. Kajian etno-ekologi yang menjadi pokok pikirannya adalah manusia
dan ekologi yang merupakan jembatan menghubungkan antara ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan (Daldjoeni:1982). Hal ini menjadikan manusa
tidak bisa dipisahkan dengan ekologi atau lingkungannya.
Kondisi ekologi akan selalu dipengaruhi dengan aktivitas
manusia. Dengan pengetahuan
sosiologi dapat menganalisis
dan menjelaskan bagaimana
hubungan antar‐manusia tersebut
memanfaatkan alam lingkungannya
dan dapat menjelaskan
interelasi suatu wilayah
dengan wilayah lainnya
(Sumaatmadja:1981). Hal ini memberikan pengertian tentang bagaimana
perilaku-perilaku manusia dalam mengatur ketentraman dan keamanan hubungan
antar manusia atau hubungan manusia dengan alam.
Sumber air dari sebuah sumur bandung diartikan berbeda
dari air sumur pada umumnya. Hal ini menjadikan masyarakt mengenal adanya
hubungan antara air tersebut dengan kelestarian hidupnya, bukan dalam hal
biologis melainkan dalam hal lebih. Hal lebih disini diartikan sebagai
pemaknaan lebih dari sebuah air yang biasanya dijadikan konsumsi sehari-hari,
tetapi pada masyarakat honggosoco tidak menjadikan sebagai sebuah konsumsi
sehari-hari. Mereka menganggap ada hal “mistik” dalam air tersebut, hingga
memaknai air tersebut sebagai obat dan hanya dijadikan sebagai obat.
Daftar
Pustaka
Daldjoeni, N. 1982. Pengantar
Geografi untuk Mahasiswa
dan Guru Sekolah. Bandung: Penerbit Alumni.
Sumaatmadja, Nursid.
1981. Studi Geografi Suatu Pendekatan dan
Analisa Keruangan. Bandung: Penerbit
Alumni.
Hilmanto, Rudi. 2010. Etonoekologi. Bandar Lampung: Penerbit
Universitas Lampung